You Are Here : Home »

Sejarah kerajaan Tarumanagara


Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.


A. RAJA-RAJA DI KERAJAAN TARUMANEGARA


Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.




Raja-raja Tarumanegara


1. Jayasingawarman 358-382

2. Dharmayawarman 382-395

3. Purnawarman 395-434

4. Wisnuwarman 434-455

5. Indrawarman 455-515

6. Candrawarman 515-535

7. Suryawarman 535-561

8. Kertawarman 561-628

9. Sudhawarman 628-639

10. Hariwangsawarman 639-640

11. Nagajayawarman 640-666

12. Linggawarman 666-669




B. SUMBER-SUMBER SEJARAH


Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.




Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Tiongkok antara lain:

Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.

Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan.

Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.

Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.



C. PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN TARUMANEGARA

1. Prasasti Ciaruteun

Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.

Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:

Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).

Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat

2. Prasasti Jambu

Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.


3. Prasasti Kebonkopi

Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.


4. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.


5. Prasasti Pasir awi

Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.


6. Prasasti Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.


7. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di Museum Nasional. Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.


Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:

Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.


Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.


Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.





D. KEHIDUPAN KERAJAAN TARUMANEGARA


KEHIDUPAN POLITIK

Berdasarkan tulisan-tulisan yang terdapat pada prasasti diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di tarumanegara hanyalah raja purnawarman. Raja purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan raja purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.

KEHIDUPAN SOSIAL

Kehidupan social kerajaan tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.

KEHIDUPAN EKONOMI

Prasasti tugu menyatakan bahwavraja purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar nagi masyarakat, Karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antardaerah di kerajaan tarumanegara denagn dunia luar. Juga perdagangan dengan daera-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan perekonomian masyarakat kerajaan tarumanegara sudah berjalan teratur.


KEHIDUPAN BUDAYA

Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran kerjaan tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan tarumanegara.

Sejarah Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.


Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.




Perkembangan Kerajaan Kediri







Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.




Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.







Runtuhnya Kediri

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

Sejarah Kerajaan Singasari

Peta wilayah kerajaan singosari


Kerajaan Singasari (1222-1293) adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara vang didirikan oleh Ken Arok pada 1222. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292) yang bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa.



Ken Arok merebut daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, pada 1222. Ken Arok pada mulanya adalah anak buah Tunggul Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena jatuh cinta pada istrinya, Ken Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken Arok, Ken Dedes telah mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi raja Singasari (1227-1248). Raja terakhir Kerajaan Singasari adalah Kertanegara.Ken Arok




Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan kemarahan raj` Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.









Kertanegara




Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya, Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang).




Kematian Anusapati menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni langsung menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni menjadi raja Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah Kerajaan Singasari selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa Cempaka (Narasingamurti). Ranggawuni wafat pada 1268 dan digantikan oleh putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292).




Ekspedisi Pamalayu




Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).


Serangan Pasukan Mongol




Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.



Arca Dwarapala merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Singasari.







TAHUKAH KAMU




Pasukan Mongol menghancurkan Kerajaan Kediri dan membunuh Jayakatwang karena menyangka Kerajaan Kediri sebagai Kerajaan Singasari dan Jayakatwang sebagai Kertanegara.



Kiri bawah: Candi Jago terletak di Malang, Jawa Timur, merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang dibangun untuk Raja Wisnuwardhana, raja Singasari, pada pertengahan abad ke-13. Dalam Negarakertagama, candi ini merupakan salah satu tempat yang dikunjungi Hayam Wuruk pada 1359.







Atas : Candi Kidal dibangun di Rejokidal, Tumpang, Malang, yang dipersembahkan kepada Anusapati, raja kedua dan anak tiri Ken Arok.

Sejarah Kerajaan Blambangan


Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.


Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.


Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.


Istana Timur Majapahit


Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.


Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.


Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).


Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.





Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.


Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit.


“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M


Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.


Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?


Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.


Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.


Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.


Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.


Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.


Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).


Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri


Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.


Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.


Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.


Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.


Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.


Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.


Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.


Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)


Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.


Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.


Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.


Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).


Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.


Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.


Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.


Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda, ketika masa terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya, mencatat prosesi pembakaran jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18 September 1691) yang begitu spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak 271 istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran api?


Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang, posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.


Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan Bujangga Manik memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun ini dilewatinya sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah sebelumnya menyeberang dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat melalui jalur pantai selatan Jawa. Toponimi Padang Alun di sini tentu mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis (makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak tertutup bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512). Dari jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad ke-15/ke-16 tak lain adalah nama alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang Alun untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama tempat di mana ia memerintah, atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa “Padang Alun” pada masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain adalah Tawang Alun.


“Puputan Bayu” Melawan VOC


Setelah Tawang Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng di Bali. Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai Blambangan. Perang pun meletus pada 25 Maret 1767 dan pusat Blambangan dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat Blambangan tak pernah padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang baru dilantik menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC. Sayang, Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong, dekat Pasuruan.


Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.


Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan Blambangan berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi). Ia melarikan diri karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup. Jagapati segera menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat yang mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren, Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan.


Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita bernama Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan melawan serbuan Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan serangan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas Jagapati, bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.


VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar lumbung-lumbung padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah karena kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon di sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu. Penduduk Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya.


Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk mendiami Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak melarikan diri kini dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti “tidak”, dan di sini bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat berkisar 8.554 jiwa.


Muncar, Ibukota Baru


Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam.


Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.


Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai. Dari Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah lenyap.


Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.


Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan terdapat perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.


Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.


Letak Istana


Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.


Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton. Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial Belanda.


Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang sekitar 5 km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini dinamakan Umpak Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga, benteng atau istana ini merupakan peninggalan Blambangan pada saat ibukota pindah ke Muncar.


Bangunan lain yang merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah tinggi). Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.


Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.


Blambangan, Pusat Keagamaan


Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar abad ke-16, kita dapat memperoleh sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya kaum agamawan Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah tersebut, terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad sebelumnya) adalah Balungbungan, atau Balungbungan merupakan penulisan lain dari Blambangan atau Balambangan.


Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari keraton Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan menuju kehidupan abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk bertapa di Balungbungan, guna mencari tempat peristirahatan terakhir. Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari berjalan menapaki wilayah utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa Barat), tokoh ini melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan mendirikan lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah didatangi oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani seorang yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang dilarang.


Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno tersebut, jelas bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang diperoleh dari naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat keagamaan, namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan pada masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah Hindu.


Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara.


Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan—juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.


Kehidupan Sosial dan Ekonomi


Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai sistem sosial dan ekonomi yang dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires (Lombard, 2008: 171) menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memprosuksi hamba atau hulun alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu pengekspor golongan masyarakat tersebut.


Ada pun kehidupan ekonomi-sosial masyarakat Blambangan sangat bergantung pada padi. Hal ini berkesesuaian dengan berita bahwa pasukan VOC membakar lumbung-lumbung padi saat menyerang Blambangan. Fakta bahwa baik Panarukan maupun Muncar adalah kota-pelabuan menimbulkan anggapan bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan bergantung pula pada penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa lagi hasil bumi yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat disejajarkan dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.


Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo





Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak, dan teater.


Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian setelah peristiwa berlangsung.


Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh Minakjinggo (yang digambarkan bertabiat kasar, buruk rupa, dan berbadan besar) yang sudah memiliki dua orang istri, Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang Ratu segera mengadakan sayembara: barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan oleh Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur, termasuk Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini, datanglah Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari Patih Majapahit bernama Udara. Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya, Patih Loh Gender di Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih, Dewi Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.


Singkat cerita, Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima Majapahit. Berangkatlah Damarwulan menghadapi Minakjinggo. Berkat bantuan kedua istri Minakjinggo, Waita dan Puyengan, Damarwulan berhasli mengalahkan Minakjinggo, memenggal kepalanya sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa kepala Minakjinggo ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan oleh Damarwulan. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan Layang Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit. Namun, akhirnya kedok mereka berdua terkuak, Damarwulan pun menikah dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Mertawijaya. Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu membuahkan seorang putra bernama Brawijaya.


Raffles menulis (2008: 234) bahwa pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas yang keras di mana dalang memberikan dialog).


Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh Minakjinggo.


Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.


***


Kepustakaan


Damayanti, Nuning dan Haryadi Suadi. 20 Mei 2009. “Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900-an”. Diambil 29 September 2010. [online]. Tersedia di http://www.wacananusantara.org/1/382/ragam-dan-unsur-spiritualitas-pada-ilustrasi-naskah-nusantara-1800-1900-an?mycustomsessionname=f92184768c5154ba2855048acf688ba7.

Ningtyas, Ika. “Menjejaki Keagungan Kerajaan Blambangan”. [online]. Tersedia di http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html.

Noorduyn, J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya 2—Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Raffles, Thomas Stamford. 2008. History of Java. Terjemahan. Yogyakarta: Narasi.

“Damarwulan.” Terdapat [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Damar_Wulan.

_____ . “Pura di Bali“. [online]. Tersedia di http://candi.pnri.go.id/bali/index.htm

_____ . “Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi”. [online]. Tersedia di http://books.google.co.id/books?id=gHpGFM_O_V0C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=kedhawung&sou.

“Sultan Trenggana”. [online]. Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Trenggana


Sumber:wacananusantara.org

Sejarah kerajaan Kalingga


Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.




Ratu Shima yang Tegas


Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.


Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.


Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.


Perutusan ke Negeri Cina





Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.


Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.


Pendeta Buddha Jnanabhadra


Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:


Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.


Kehidupan Masyarakat





Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.


Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.


Sumber: wacananusantara.org

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terkuat di pulau Sumatera dan termasuk salah satu kerajaan yang berpengaruh di Nusantara karna luas nya daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa juga Pesisir Kalimantan. Nama Sriwijaya sendiri di ambil dari Bahasa sangsekerta Sri berarti Gemilang dan Wijaya Berarti Kejayaan, maka makna dari nama Sriwijaya adalah Kejayaan yang Gemilang. tidak ada yang tahu dengan pasti kapan awal berkembangnya dan kapan pula berakhirnya kerajaan Sriwijaya namun diperkirakan pada abad ke-7 M Kerajaan Sriwijaya telah berdiri.


Urutan Sejarah Kerajaan Sriwijaya


Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya

tahun 671 adalah tahun awal yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan


Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya

".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".


Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M. Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu.


Isi prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan:

tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua


Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo

Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra.


Tahun 686 M - Prasasti kota kapur





Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya


Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam

Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah


Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya

Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi :

Dari Raja di raja... yang adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi


Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya

Hal ini di dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya




Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya

di kisaran Tahun ini lah di perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya


Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta

Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi Tara, anak Dharmasetu"


Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa

Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya.


Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh

dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut.


Tahun 1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa

keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik

Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa.


Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman

Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden.


Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India

Terjemahan Prasasti Leiden :

Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma


Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit


Majapahit pada abad ke-14 merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara. Peranannya menggantikan Kerajaan Mataram di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra, dua kemaharajaan besar di zamannya; yang pertama merupakan negara Agraris, yang kedua negara maritim; kedua ciri tersebut pada dasarnya dimiliki oleh Kerajaan Majapahit.


Menurut beberapa sumber tertulis, legenda, dan cerita masyarakat, nama Majapahit diambil dari kata “buah Maja yang rasanya pahit”, sebagai tanda peringatan peristiwa dibukanya hutan Těrik (Tarik) dan pembangunan pemukiman di daerah tersebut oleh Raden Wijaya.




Majapahit terletak di lembah Sungai Brantas, daerah Těrik (Tarik) dipersimpangan Kali Mas dan Kali Porong, Jawa Timur, Indonesia. Jalur-jalur perhubungan terbentuk dari jejaring sungai-sungai yang sebagian besar relatif pendek. Sungai-sungai yang paling cocok untuk hubungan jarak jauh hanyalah Sungai Berantas dan Bengawan Solo. Tidaklah mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai itu merupakan pusat-pusat kerajaan besar, di antaranya Singgasari dan Majapahit yang memiliki kuasa atas wilayah yang dilalui oleh kedua aliran sungai tersebut pada abad ke-13 dan 14 Masehi.


Raden Wijaya, tokoh utama dalam sejarah Majapahit ini memiliki latar belakang yang menarik. Pararaton dan Kidung Sundayana saling melengkapi hampir dalam setiap hal, kecuali mengenai garis keturunan seorang Raden Wijaya. Sumber utama yang dapat menjadi rujukan dalam menelusuri jejak garis keturunan beliau sebagai salah satu pewaris Wangsa Rajasa yang dibangun oleh Ken Angrok (Ken Arok) hanya Pararaton, yang menyatakan bahwa Raden Wijaya berasal dari garis Dyah Lembu Tal, sementara Kidung Sundayana memaparkan Dyah Lembu Tal memiliki darah atau garis keturunan Sunda.


Jayakatwang (Jayakatong), seorang raja bawahan yang berkuasa di Gelang gelang mengambil alih kekuasaan Singasari. Jayakatwang melakukan pemberontakan terhadap Singasari, tepat setelah ekspedisi Pamalayu diberangkatkan oleh Krtanagara. Krtanagara sendiri gugur dalam peristiwa ini (1292). Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di tahun meninggalnya Krtanagara, di China, Kaisar Dinasti Yuan, Kaisar Shizu (Kubilai Khan) mengirimkan ekspedisi untuk membalas pengusiran utusannya yang terdahulu ke Tanah Jawa.


Kronik Cina mencatat bahwa kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang, melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memorak-morandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit Mongol di atasnya.


Raden kemudian mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta (sinonim untuk Majapahit dalam bahasa Sansekerta). Nagarakretagama dan Pararaton sependapat bahwa Raden Wijaya menobatkan diri sebagai raja dari sebuah kerajaan baru bernama Majapahit pada tahun 1294. Ia dinobatkan dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. dan wangsa yang didirikan oleh Raden Wijaya (Nararya Sangramawijaya), tidak bernama Wijaya-Wangsa, melainkan memakai Dinasti Rajasawangsa seperti terbukti dari piagam Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana pada tahun 1305, lempengan satu baris yang bunyinya:


Rajasa-Wangsa, penolong orang utama, pahlawan gagah berani dalam peperangan ….


Dengan kata lain, Nararya Sanggramawijaya tidak mendirikan Rajawangsa baru yang disebut dengan unsur namanya, melainkan melanjutkan wangsa dari Kerajaan Singaasāri yang terputus oleh Jayakatwang pada 1292 M. Nama abhiseka (penobatan) Nararya Sanggramawijaya (Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana) mengandung unsur Rajasa (nama pendiri Singasāri). Dengan jalan demikian, Nararya Sanggramawijaya menunjukkan kesetiaan terhadap leluhurnya, Singasari.


Masa-masa awal Kerajaan Majapahit diwarnai beberapa peristiwa yang kemudian dicatat sebagai pemberontakan pada masanya. Ranggalawe dan Lembu Sora adalah yang pertama, disusul oleh Nambi, kemudian Ra Kuti dan Ra Semi, dan yang terakhir tercatat adalah Ra Tanca dalam Pararaton.


Tribhuwanatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit (1328-1351). Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit. Peristiwa Sumpah Palapa kemudian masuk ke dalam catatan sejarah Majapahit atas visi perluasan cakrawala kekuasaan pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Dalam Pararaton disebutkan bahwa Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada (dengan wewenang Tribhuwanatunggadewi) saat dilantik sebagai rakryan patih, Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1334M.


Pada 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja keempat Majapahit, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Hayam Wuruk merupakan kumaraja (raja muda) ketika ibunya, Tribhuwanatunggadewi, masih memerintah. Hayam Wuruk mendapat daerah Jiwana sebagai sebagai daerah lungguh-nya (daerah kekuasaan).


Masa-masa setelah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk merupakan masa kemunduran kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pertikaian keluarga, dendam yang berkelanjutan, perubahan politik dan perekonomian dunia internasional, secara tidak langsung mengakibatkan melemahnya kerajaan ini, yang bukan disebabkan oleh serbuan langsung dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.


Perang Paregreg tercatat merupakan peperangan yang terjadi di antara Istana Barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan Istana Timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi pada 1404-1406 M dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit. disamping penyerangan lainnya yang dilakukan oleh Bala tentara Demak.


Kerajaan Majapahit melemah kemudian”Sirna Ilang Kertaning Bhumi” (Musnah Hilang Keagungan Negeri: 1400 Saka /1487 M). Tahun inilah yang dipercaya sebagai tahun “keruntuhan” Majapahit.

Kerajaan Panai (PANE)


Keberadaan Kerajaan Panai sampai sekarang masih sedikit orang yang membicarakannya. Minimnya sumber yang menyebutkan tentang Kerajaan Panai membuat nama kerajaan ini asing. Prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Raja Rajendra I (Rajendracoladewa) dari Kerajaan Cola di India Selatan pada 1030 M merupakan sumber yang paling awal menyebutkan tentang Kerajaan Panai. Rajendra I, diperkirakan raja yang berasal dari India. Dalam prasasti itu disebutkan tentang penyerangan yang dilakukan oleh Rajendra terhadap raja Sailendra Sangramawijayayotunggawarman dari Kerajaan Kadaram. Diperkirakan bawa Kerajaan Sailendra di sini adalah Kerajaan Sriwijaya. Lebih lanjut disebutkan bahwa setelah menyerang Sriwijaya serta menghancurkan rajanya, maka yang menjadi target penyerangan Rajendra berikutnya adalah Kerajaan Panai.




Prasasti Tanjore selnjutnya menyebutkan kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan oleh Raja Rajendra I dari Kerajaan Cola, yakni: Kerajaan Kadaram (Kataha – Kedah), Pannai, Malayur, Ilamuridesa (Lamuri), Ilanggasokam (Langkasuka), Madalinggam (Tambralingga), dan sebagainya. Diduga nama-nama kerajan tersebut merupakan kerajaan kecil yang pada masa itu merupakan sekutu Kerajaan Siriwijaya. Penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya tidak berarti membuat Kerajaan Sriwijaya runtuh. Berita Cina pada 1028 M masih menyebutkan adanya utusan dari Sumatra yang membawa upeti raja Se-li-tieh-hwa. Diduga raja tersebut merupakan keturunan dari Sanggramawijayatunggawarman.


Nagarakretagama menyebutkan bahwa Kerajaan Pane (Panai) termasuk salah satu negara Melayu yang telah tunduk dan berada di bawah Majapahit. Berikut petikan terjemahan Nagarakretagama:


Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.


Sumber lain yang lebih muda yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Panai adalah surat dari Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda pernah mengirim surat kepada Jacques I yang isinya menyatakan bahwa Panai merupakan jajahan Aceh di pantai timur Sumatra.


Prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat bahwa “Pannai terletak di tepi sungai” di antara daerah atau kota yang diserang tentara Cola pada 1025 Masehi. Lokasi ini diduga di Kuala Panai. Menurut Wheatley nama Panai berasal dari bahasa Tamil yang berarti “ladang” atau “tanah pertanian”, karena itu Pannai dalam prasati Cola diterjemahkan sebagai “well-watered fields (of) Sriwijaya (Lobu Tua Sejarah Awal Barus, 2001: 71 dan Poesponegoro, 2008: 110). Nama Panai juga terdapat di tempat lain: sebuah kota dan sebuah daerah di sebelah timur Danau Toba dan daerah pedalaman Kota Tanjungbalai. Pane juga merupakan nama marga orang Batak di pantai barat; dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, maka R. Mulia mengusulkan bahwa pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk Kerajaan Panai yang berpusat di daerah-daerah candi. Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi tersebut diduga berasal dari abad ke-10 hingga 14 Masehi dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.


Pada zaman dahulu Padang Lawas diperkirakan berhubungan dengan pantai barat, mungkin daerah Toba di selatan Danau Toba, dan tercatat dalam Nagarakretagama yang berperan juga dalam hubungan ini. Pelabuhan Panai dahulu diperkirakan dekat dengan Sungai Panai dan kemungkinan terletak di daerah Panai sekarang. Hipotesis ini diperkuat oleh keadaan sebuah anak Sungai Barumun di bagian hulu; Sungai Barumun dan kualanya dinamakan Panai atau Pane. Padang Lawas berada dalam wilayah Kerajaan Panai yang berpusat di pantai atau, sebaliknya, berpusat di pedalaman namun pintu masuknya di pantai.


Tampaknya sumber-sumber yang berasal dari Cina belum membawa informasi tambahan tentang Kerajaan Panai. Kronik Cina menyebutkan tentang adanya P’o-lo, P’u-lo, dan Pu-lo, yang mungkin mengacu kepada Peureulak, walau pun Wheatley berpendapat bahwa nama-nama tersebut mungkin mengacu kepada Panai. P’ni, yang diduga Panai oleh Gerini, sebenarnya Brunei. Dalam daftar perjalanan I tsing, yang memulai perjalanannya dari arah barat, P’o-li disebut pada posisi kelima, jauh sesudah Malayu, “yang merupakan Kerajaan Sriwijaya sekarang”. Hsu-Yu-t’siao, merujuk kepada Schnitger dan diikuti oleh Mulia, berpendapat bahwa tempat ini sama dengan Panai. Namun menurut kebanyakan peneliti P’o-li, misalnya Pelliot dan Wheatley berpendapat bahwa Po’o-li adalah Bali, sedangkan menurut Wolters, P’o-li terletak di bagian timur Nusantara, di sekitar Chin-li-p’i-shih (Vijayapura) yang kemungkinan besar terletak di Borneo.


Peureulak dan Lambri diperkirakan merupakan pelabuhan di mana terdapat banyak barang berharga, namun khusus untuk kamper terdapat dua pelabuhan saja: Pant’chour, yaitu Fansur atau Barus, di pantai barat, dan Panes atau Panis, yaitu Panai, di pantai timur. Kedua pelabuhan tersebut saling membelakangi dan terletak di satu garis yang memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan. Keberadaan pelabuhan Panai dan Barus sebagai sebuah pelabuhan yang saling membelakangi menjadikan keuntungan tersendiri dalam jalur perdagangan, karena memiliki jalur perdagangan masing-masing. Panai memiliki jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka dan Barus sendiri memiliki jalur perdagangan di Samudra Hindia. Namun untuk mengekspor “kamper dalam jumlah besar” pada abad ke-12 Masehi, Kerajaan Panai semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun dan kalau sungai ini juga dinamakan Sungai Panai, maka sungai inilah yang dari dahulu merupakan jalan utama untuk kamper dan bahan-bahan dari pedalaman ke pantai timur. Ini mungkin merupakan konfirmasi bahwa Kerajaan Panai meliputi seluruh daerah aliran Sungai Barumun, termasuk Padang Lawas (kini nama kabupaten di Sumatra Utara, hasil pemekaran Kab. Tapanuli Selatan).


Situs Padang Lawas





Sebagaimana umur manusia ada batasnya, demikian pula halnya dengan peradaban di Padang Lawas. Goncangan pertama yang dialami oleh peradaban ini adalah pada 1030 Masehi ketika penguasa Kerajaan Cola, Rajendra I, menyerang Panai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang membangun kepurbakalaan di Padang Lawas. Namun, tampaknya kerajaan ini masih eksis hingga abad ke-14 M, yang dibuktikan dengan disebutkannya nama Panai sebagai salah satu wilayah Majapahit yang berada di bumi Malayu. Setelah masa itu, tidak diketahui dengan pasti apakah Kerajaan Panai masih eksis dan biaro – biaronya dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai tempat persembahyangan, hingga pada pertengahan abad ke-19 (tahun 1837) saat Belanda dapat menaklukkan wilayah Padang Lawas, sebagai bagian dari upaya Belanda mereduksi wilayah pengaruh kaum Padri di Tanah Tapanuli.


Keberadaan Kerajaan Panai tidak disebut kemudian dalam sumber Cina, termasuk Ma Huan, sekretaris Cheng Ho. Hal tersebut bukan berarti bahwa Kerajan Panai telah hilang, seperti yang dituliskan oleh Mills, Ma Huan juga tidak mencatat Kerajaan Lampung dan Kampar. Ma Huan tidak memberikan deskripsi Peureulak karena tempat ini termasuk dalam Kerajaan Samudra yang berbatasan dengan Aru pada zaman itu. Selain itu, Panai merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak tercatat oleh Marco Polo, mungkin karena Panai terletak di satu daerah yang tidak dikunjunginya. Kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa serta kehilangan kekuasaan atas kawasan Selat Malaka, memperlemahkan kekuatan pelabuhan Padang Lawas – Panai.


Berdasarkan prasasti abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah aliran sungai di Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa pada zaman itu di Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kekuasaan. Pada abad ke-16, sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh pelabuhan Sumatera, yaitu Fansur dan tidak mencatat Panai di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan kecil. Pires meletakkan Kerajaan Acat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga bernama Panai pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru menyediakan sejenis kamper yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau, sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur, seperti zaman dahulu.





Pada abad ke-10 Kerajaan Panai diperkirakan telah berkembang dan menjadi kerajaan yang penting di Sumatra. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila Rajendra I dari Kerajaan Cola melakukan penyerangan pada 1025 M. Namun, serangan tersebut tidak berhasil menghancurkan Panai karena terbukti pada abad-abad berikutnya justru kerajaan tersebut berhasil berkembang, dan bahkan berhasil membangun komplek percandian Padang Lawas yang monumental. Sangat disayangkan. meski bangunan-bangunan di Padang Lawas cukup banyak, tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang sebuah kerajaan dan raja-rajanya. Tulisan-tulisan singkat yang dipahat dalam lembaran emas lebih mengenai mantra ajaran-ajaran Tantris yang berkembang pada saat itu. Sebagai informasi tambahan, Raja Kertanagara dari Singhasari, Adityawarman dari Kerajaan Malayapura (Pagaruyung), dan Kubilai Khan dari Mongol adalah penganut setia dari ajaran tersebut (Poesponegoro, 2008: 111).


Melihat bangunan di situs Padang Lawas, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pendukung situs tersebut dulunya merupakan pemeluk Buddha. Hal tersebut bisa di identifikasi berdasarkan bangunan-bangunan peninggalan yang masih dapat kita temukan sampai sekarang, walapun mungkin bangunan tersebut tidak bagus seperti pada zamannya dulu “kurang terawat”.
Sumber Bacaaan
Guilot, Claude. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedewo, Ery. 2008. “Arca Perunggu Garuda dan Boddhisatva Padmapani dari Padanglawas”. [Online]. Terdapat di. http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/02/arca-perunggu-garuda-dan-boddhisatva-padmapani-dari-padanglawas/ [26/10/10].
Sumber: wacananusantara.org

Keberadaan kerajaan Kutai


Keberadaan kerajaan Kutai diketahui berdasarkan sumber yang diketemukan diantaranya berupa prasasti berbentuk yupa (tiang batu) berjumlah tujuh buah. Kerajaan Kutai diperkirakan muncul pada abad ± 4 M dan merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Hingga saat ini, sangat sedikit bukti yang diketemukan guna menelusuri sejarah dan keberadaan Kerajaan ini.


Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Belum ada informasi yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

Dari salah satu yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Mulawarman diduga adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta sedangkan Kundungga masih berbau lokal.


Raja Kudungga diduga adalah raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai. Akan tetapi, apabila dilihat dari nama raja yang masih meng-gunakan nama lokal, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya menjadi raja, sehingga pergantian raja dilakukan secara turun-temurun.


Aswawarman adalah raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai. Ia disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Dalam yupa tersebut juga menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacaraAsmawedha.


Informasi tentang upacara sejenis di dapat dari negeri India, pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara Asmawedha dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai. Dengan kata lain, sampai di mana ditemukan tapak kaki kuda, maka sampai di situlah batas Kerajaan Kutai. Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai. Aswawarman sendiri memiliki tiga orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.


Dalam kehidupan politik dari informasi yupa diketahui bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman. Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai diperkirakan berakhir saat muncul nama Kerajaan Kutai Kartanegara yang selanjutnya menjadi kerajaan Islam, Kesultanan Kutai Kartanegara.


Sumber: wacananusantara.org

Goodnews is a News Magazine theme with unlimited colors, available for Blogger.

2012 Goodnews. All Rights Reserved. Theme By Momizat Team ~ Converted by Uong Jowo

Scroll to top